Monumen Van der Wijck, Saksi Bisu Tragedi Tenggelamnya Kapal di Laut Jawa

Monumen Van der Wijck, Saksi Bisu Tragedi Tenggelamnya Kapal di Laut Jawa

Di tepi laut utara Lamongan, tepatnya di kawasan Pelabuhan Brondong, berdiri sebuah monumen bersejarah yang tenang namun penuh makna. Monumen Van der Wijck bukan hanya sekadar bangunan beton, melainkan simbol duka dan penghormatan terhadap salah satu tragedi laut paling terkenal di masa kolonial Hindia Belanda.

Tenggelamnya kapal Van der Wijck pada tahun 1936. Meski kini bangunannya tampak sederhana, nilai sejarah yang dikandungnya begitu dalam.

Monumen ini menjadi saksi bisu keberanian masyarakat pesisir Brondong yang turut menolong para korban kapal Belanda tersebut.

 

Sejarah Kapal Van der Wijck dan Tragedi di Laut Jawa

Awal Mula Kapal Van der Wijck

Kapal Van der Wijck adalah kapal uap milik perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Kapal ini dibuat di galangan Maatschappij Fijenoord Rotterdam pada tahun 1921 dan memiliki bobot sekitar 2.596 ton.

Pada masa itu, kapal ini menjadi salah satu alat transportasi laut utama di Hindia Belanda, menghubungkan berbagai kota pelabuhan seperti Surabaya, Semarang, dan Makassar. Namun, pada 19 Oktober 1936, perjalanan kapal ini berubah menjadi bencana besar. Kapal berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, membawa lebih dari dua ratus orang penumpang dan awak kapal. Tujuan mereka adalah menuju Batavia (sekarang Jakarta).

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck

Sekitar tengah malam, di perairan Laut Jawa sekitar 12 mil dari pantai Brondong, Lamongan, kapal tersebut dilaporkan mengalami kerusakan. Sebagian catatan menyebutkan adanya kebocoran dan ketidakseimbangan muatan yang menyebabkan kapal oleng dan perlahan tenggelam.

Kru kapal sempat mengirim sinyal SOS melalui radio ke Batavia. Namun, pertolongan datang terlambat.

Dalam kegelapan malam dan ombak yang ganas, banyak penumpang tak sempat menyelamatkan diri. Beberapa kapal dari Surabaya dan Gresik segera dikirim untuk mengevakuasi korban, dibantu oleh para nelayan lokal yang dengan berani turun ke laut tanpa peralatan modern.

Tragedi ini menjadi berita besar di seluruh Hindia Belanda. Surat kabar kolonial menyebutnya sebagai salah satu kecelakaan laut paling memilukan, bahkan Ratu Wilhelmina di Belanda mengungkapkan belasungkawa resminya.

Sebagian besar korban ditemukan beberapa hari kemudian di sekitar pantai utara Lamongan dan Tuban.

 

Pembangunan Monumen Van der Wijck di Brondong

Sebagai bentuk penghormatan terhadap peristiwa ini, pemerintah Hindia Belanda bersama masyarakat setempat membangun Monumen Van der Wijck tak lama setelah kejadian, pada akhir tahun 1936. Monumen ini didirikan di halaman Pelabuhan Brondong, lokasi terdekat dengan titik evakuasi para korban.

Bangunan monumen berbentuk menara bertingkat setinggi sekitar 10 meter dengan dasar berukuran 2,5 x 3 meter. Di bagian tengah terdapat prasasti dalam dua Bahasa yakni Bahasa Indonesia ejaan lama di sisi barat, dan Bahasa Belanda di sisi timur.

Tulisan tersebut menjadi pengingat bagi siapa pun yang datang bahwa di laut inilah, ratusan nyawa pernah berjuang melawan maut. Prasasti Bahasa Indonesia berbunyi

“Tanda Peringatan kapada penoeloeng-penoeloeng waktoe tenggelamnja kapal ‘Van Der Wijck’ DDO. 19-20 October 1936.”

Sedangkan prasasti Bahasa Belanda dipersembahkan kepada seorang radiotelegrafis kapal bernama Martinus Jacobus Uytererk, yang tetap bertugas mengirimkan sinyal darurat hingga akhir hayatnya. Tulisan itu berbunyi

“Hij Bleef Getrouw Tot In Den Dood, Ia tetap setia hingga kematian.”

Bangunan ini dulunya berwarna kuning dan biru, menggambarkan warna laut dan langit. Kini, warnanya memudar menjadi putih keabu-abuan, namun semangat dan makna sejarahnya tetap terjaga.

 

Makna dan Nilai Historis Monumen Van der Wijck

Monumen ini bukan hanya menjadi tempat mengenang tragedi, tetapi juga simbol kemanusiaan. Ia dibangun untuk menghormati keberanian para nelayan Brondong yang tanpa pamrih membantu para korban Belanda di tengah malam yang mencekam.

Sebuah bentuk solidaritas lintas bangsa dan kemanusiaan di masa kolonial yang jarang diingat. Selain itu, monumen ini mencerminkan sejarah maritim Indonesia yang panjang.

Ia mengingatkan kita bahwa laut bukan hanya sumber kehidupan, tetapi juga tempat di mana banyak kisah pilu terjadi. Dari sisi edukatif, monumen ini sering dijadikan bahan pembelajaran sejarah lokal di sekolah-sekolah Lamongan dan sekitarnya.

Bagi sebagian masyarakat, Monumen Van der Wijck juga dianggap memiliki nilai spiritual sebagai tempat merenung, mengingat betapa kuatnya manusia berhadapan dengan alam.

 

Baca Juga: Bangkai Kapal Van der Wijck, Di Mana Kini


Kondisi dan Tantangan Pelestarian

Sayangnya, seiring berjalannya waktu, kondisi Monumen Van der Wijck kini memprihatinkan. Beberapa bagian dinding mulai retak, cat pudar, dan lingkungan sekitarnya kurang terawat.

Sebagian masyarakat bahkan tidak tahu keberadaan monumen ini karena tidak ada papan petunjuk yang jelas dari jalan utama Pantura menuju lokasi. Padahal, jika dikelola dengan baik, monumen ini berpotensi besar menjadi destinasi wisata sejarah di Lamongan.

Letaknya yang strategis di pesisir utara menjadikannya mudah diakses oleh wisatawan yang melintas. Selain itu, keberadaan monumen ini juga bisa dikaitkan dengan edukasi sejarah, budaya, dan literasi.

Mengingat tragedi Van der Wijck juga menjadi inspirasi novel legendaris karya Buya Hamka, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck. Pemerintah Kabupaten Lamongan bersama Dinas Pariwisata sebenarnya telah berupaya melakukan perawatan berkala.

Namun, minimnya dana dan kurangnya perhatian publik membuat monumen ini belum sepenuhnya kembali ke kondisi idealnya.

Monumen Van der Wijck

Monumen Van der Wijck dalam Perspektif Wisata Sejarah

Bagi pengunjung yang datang ke Brondong, monumen ini mudah ditemukan di area pelabuhan. Dari pusat Kota Lamongan, jaraknya sekitar 30 kilometer atau sekitar satu jam perjalanan dengan mobil.

Suasana di sekitar monumen sangat khas pesisir. Suara kapal nelayan, angin laut, dan aroma asin yang menyegarkan.

Di sini, wisatawan bisa menikmati panorama laut dari balkon monumen lantai dua, membaca prasasti bersejarah, atau sekadar berfoto dengan latar menara yang menghadap ke laut. Meski sederhana, tempat ini menyimpan aura nostalgia yang kuat.

Kehadiran monumen ini seharusnya dapat dikembangkan dalam konsep wisata edukasi sejarah maritim, seperti tur edukatif atau pameran mini tentang tragedi kapal Van der Wijck. Apabila dilengkapi dengan papan informasi dan dokumentasi foto-foto lama, pengalaman wisatawan tentu akan semakin menarik dan bermakna.

 

Baca Juga: Apakah Kisah Tenggelamnya Kapal Van der Wijck Benar-benar Nyata


Upaya Revitalisasi dan Harapan ke Depan

Monumen Van der Wijck memang sudah berusia hampir sembilan dekade. Namun, nilai sejarahnya tak lekang oleh waktu. Untuk menjaga warisan ini, beberapa langkah penting perlu dilakukan.

Pertama, restorasi menyeluruh harus segera dilakukan agar struktur bangunan tetap kokoh. Pemerintah bisa melibatkan Balai Pelestarian Cagar Budaya atau komunitas sejarah lokal untuk mengembalikan monumen ke kondisi semula.

Kedua, pemasangan papan informasi dan penunjuk arah dari jalan utama sangat penting agar wisatawan mudah menemukan lokasi ini. Hal kecil seperti papan bertuliskan “Monumen Van der Wijck 500 meter lagi” sudah mampu meningkatkan kunjungan.

Ketiga, program edukatif dan promosi digital perlu digencarkan. Dengan publikasi di media sosial, website pariwisata, dan artikel SEO seperti ini, masyarakat luas dapat mengenal kisah heroik yang terkandung di balik monumen tersebut.

Vendor Outbound Batu Malang

Dan yang terakhir, akan sangat baik jika setiap tanggal 20 Oktober diadakan acara peringatan tahunan semacam Hari Pelayaran dan Kemanusiaan Brondong untuk mengenang tragedi tenggelamnya kapal Van der Wijck. Acara ini bisa berupa doa bersama, pertunjukan budaya pesisir, atau lomba menulis sejarah lokal bagi pelajar.

Monumen Van der Wijck di Brondong, Lamongan, adalah jejak sejarah yang tak ternilai. Ia berdiri bukan hanya untuk mengenang tragedi tenggelamnya kapal Belanda, tetapi juga sebagai bukti nyata keberanian dan solidaritas masyarakat pesisir Indonesia.

Di tengah gelombang modernisasi, monumen ini seakan berpesan bahwa sejarah tidak boleh dilupakan, sebab di dalamnya ada pelajaran tentang kemanusiaan, keberanian, dan kebersamaan. Menjaga monumen ini berarti menjaga ingatan kolektif bangsa.

Semoga ke depan, Monumen Van der Wijck dapat terus berdiri megah sebagai saksi bisu tragedi yang mengajarkan arti kemanusiaan di lautan Nusantara.


Penulis: Beatrice Rezqikha Zerlinda (bea)

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *