Mengungkap Sejarah Klenteng Kwan Sing Bio Tuban dan Mitos di Balik Simbol Kepiting Raksasa

Jejak
Spiritualitas di Pesisir Utara Jawa
Di antara deru ombak Pantai Utara Jawa, berdiri sebuah
bangunan megah bercorak oriental yang memancarkan warna merah emas dari
kejauhan. Itulah Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, bangunan bersejarah yang bukan
hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga penanda perjalanan panjang komunitas
Tionghoa di Nusantara.
Kini, klenteng ini dikenal sebagai salah satu
destinasi wisata religi dan wisata sejarah paling menonjol di Jawa Timur. Terletak di Jalan Martadinata No. 1, Kelurahan Karangsari, bangunan ini
menghadap langsung ke laut, pemandangan yang jarang ditemukan pada rumah ibadah
Tionghoa lainnya.
Di pintu gerbangnya, berdiri sebuah gapura besar berhias patung kepiting raksasa yang seolah menyambut setiap pengunjung. Simbol kepiting tersebut telah menjadi ciri khas yang melekat kuat pada identitas Tuban dan Klenteng Kwan Sing Bio hingga kini.
Sejarah
Pendirian: Antara Fakta dan Legenda
Kisah berdirinya Klenteng Kwan Sing Bio menyimpan
teka-teki yang menarik. Berdasarkan catatan tradisional, klenteng ini didirikan
sekitar tahun 1773, menjadikannya sebuah peninggalan abad ke-18.
Namun, bukti tertulis paling tua yang berhasil
ditemukan berupa prasasti bertanggal 1871, yang menandakan bahwa penentuan
tahun pastinya masih menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan dan
peneliti lokal.
Legenda yang hidup di masyarakat menyebutkan bahwa
awal mula klenteng berasal dari sebuah altar kecil yang dibawa oleh sekelompok
pelaut Tionghoa ketika berlabuh di Tuban. Mereka membangun tempat sembahyang
sederhana di tepi pantai, yang kemudian berkembang menjadi kompleks besar
berkat generasi penerusnya.
Seiring waktu, tempat ini bukan hanya menjadi pusat
pemujaan, tetapi juga ruang komunitas, tempat bertemunya spiritualitas,
perdagangan, dan identitas budaya.
BACA JUGA: Menjelajahi Klenteng Kwan Sing Bio Tuban dengan Ikon Patung Kepiting Raksasa
Mitos
Kepiting Raksasa: Simbol dari Laut dan Perlindungan
Simbol kepiting yang menghiasi gapura utama bukan
sekadar ornamen unik, melainkan memiliki kisah dan makna yang mendalam. Dalam
cerita rakyat Tuban, kawasan di sekitar klenteng dahulu dikenal sebagai tambak
yang dipenuhi kepiting.
Hewan tersebut kemudian dijadikan lambang pelindung
kawasan sekaligus penanda hubungan erat antara manusia dan laut.
Bagi komunitas Tionghoa, kepiting juga memiliki arti
simbolis: perlindungan, kekuatan, dan kemampuan bertahan dalam segala kondisi.
Kehadirannya di gerbang klenteng melambangkan penjaga spiritual yang menghalau
energi buruk sekaligus mengundang keberuntungan bagi mereka yang datang berdoa.
Mitos kepiting raksasa inilah yang membuat klenteng
ini dikenal luas hingga kini. Banyak pengunjung percaya bahwa menyentuh bagian
bawah gapura atau berdoa di bawah simbol kepiting dapat membawa keselamatan
dalam perjalanan dan usaha.
Arsitektur
dan Ornamen: Keindahan yang Sarat Makna
Dari sisi arsitektur, Kwan Sing Bio menghadirkan
harmoni antara arsitektur oriental klasik dengan sentuhan lokal pesisir.
Bangunan utama, altar, dan gerbangnya didominasi warna merah emas, melambangkan
keberanian, kemakmuran, dan kebahagiaan.
Di setiap sudut, ornamen naga meliuk di puncak atap,
sementara relief Tionghoa klasik menghiasi dinding-dindingnya,
menggambarkan kisah kebajikan, kesetiaan, dan perjalanan spiritual. Lukisan
mural di dalam kompleks menceritakan legenda Tiongkok kuno serta memuat
filosofi moral yang mendalam.
Para
peneliti ikonografi menilai bahwa mural-mural tersebut berfungsi layaknya
dokumen sejarah visual yang mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada generasi
penerus melalui perpaduan warna dan simbol yang kaya makna.
Dengan luas area sekitar 4 hingga 5 hektar, Kwan Sing
Bio sering disebut sebagai salah satu klenteng terbesar di Asia Tenggara.
Kompleksnya meliputi halaman luas, kolam ikan, hingga ruang terbuka untuk acara
keagamaan dan budaya.
Saat senja tiba, pantulan cahaya keemasan dari lampion
dan ukiran menciptakan suasana yang begitu menenangkan.
Fungsi
Religius dan Tradisi Sosial
Sebagai pusat pemujaan Tri Dharma yang meliputi ajaran
Konghucu, Buddha, dan Tao, Klenteng Kwan Sing Bio menjadi tempat beribadah bagi
ribuan umat dari berbagai daerah. Sosok utama yang dihormati di sini adalah
Kwan Kong atau Guan Yu, panglima perang legendaris dari masa Tiga Kerajaan yang
dikenal sebagai lambang kesetiaan dan keberanian.
Setiap tahun, perayaan hari kelahiran Kwan Kong selalu
menjadi momen yang dinanti. Ribuan peziarah datang membawa dupa dan sesaji,
memanjatkan doa bersama, serta mengikuti ritual pelepasan kura-kura ke laut
sebagai simbol umur panjang dan rezeki yang melimpah.
Selain fungsi religius, klenteng ini juga aktif dalam
kegiatan sosial, seperti bakti sosial dan penyediaan dapur umum ketika
masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Melalui harmoni antara ritual keagamaan
dan kebersamaan sosial, Klenteng Kwan Sing Bio berperan sebagai jembatan
spiritual sekaligus perekat sosial bagi masyarakat Tuban dan sekitarnya.
BACA JUGA: Destinasi Wisata Sejarah Tuban Paling Populer untuk Liburan Edukatif
Patung Guan
Yu dan Dinamika Zaman
Pada tahun 2017, pembangunan patung raksasa Guan Yu
setinggi sekitar 32 meter di area belakang kompleks sempat menjadi sorotan
nasional. Patung tersebut dibangun sebagai bentuk penghormatan terhadap dewa
pelindung klenteng, namun kehadirannya sempat memicu perdebatan di ruang
publik.
Di balik kontroversi itu, sejumlah akademisi menilai
peristiwa tersebut sebagai bagian dari perjalanan panjang pluralisme di
Indonesia. Simbol keagamaan, identitas budaya, dan dinamika sosial berinteraksi
secara nyata di ruang ini, mencerminkan kompleksitas hubungan antara tradisi
dan konteks masyarakat modern.
Kini, patung Guan Yu berdiri kokoh sebagai pengingat
bahwa setiap situs bersejarah memiliki dinamika sosialnya sendiri. Klenteng
Kwan Sing Bio tidak hanya hadir sebagai bangunan fisik, tetapi juga sebagai
ruang yang terus menumbuhkan dialog antarbudaya dan memperkaya warisan
spiritual di pesisir utara Jawa.
Warisan yang
Hidup di Tengah Zaman
Lebih dari sekadar bangunan tua, Klenteng Kwan Sing
Bio adalah warisan hidup yang memadukan sejarah, seni, dan spiritualitas dalam
satu ruang yang terus berdenyut.
Dari altar kecil di tepi laut hingga menjadi kompleks
megah berornamen naga, dari prasasti tahun 1871 hingga patung raksasa abad
ke-21, semuanya membentuk mozaik perjalanan identitas komunitas di pesisir
utara Jawa.
Kepiting raksasa di gerbang bukan hanya simbol visual,
tetapi juga metafora tentang keteguhan dan daya tahan. Tradisi, keyakinan,
serta harmoni yang tumbuh di dalamnya mampu bertahan di tengah perubahan zaman.
Bagi setiap pengunjung, Kwan Sing Bio bukan hanya
tempat untuk dilihat, tetapi juga tempat untuk dirasakan. Di sini, keberagaman
berpadu dengan spiritualitas dan menghadirkan ketenangan yang menyatu dengan
semilir angin laut Tuban.
Sumber
Gambar: Canva
Penulis:
Avifa