Jejak Syiar Islam di Pacitan Peran Kiai Hamid Dimyathi Tremas dan Ulama Pendahulu

Jejak Syiar Islam di Pacitan Peran Kiai Hamid Dimyathi Tremas dan Ulama Pendahulu

Ketika berbicara tentang jejak syiar Islam di Pacitan, kita tidak sedang hanya membicarakan batu, nisan, atau bangunan. Kita berbicara tentang sebuah warisan intelektual dan spiritual yang hidup, yang detaknya berpusat di satu nama legendaris: Pondok Tremas. Pacitan, yang dikenal dengan keindahan alamnya, sesungguhnya menyimpan "jantung" keilmuan Islam yang cahayanya menyebar ke seluruh Nusantara.

Memahami Pacitan secara utuh berarti menyelami kisah para ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk dakwah dan pendidikan. Ini adalah inti dari perjalanan spiritual, sebuah konteks yang memberi makna pada setiap destinasi yang kami bahas dala Panduan Lengkap Wisata Religi Pacitan kami.

 

Panduan ini akan menelusuri peran vital Pondok Tremas, dari ulama pendahulu hingga masa keemasan di bawah bimbingan Kiai Hamid Dimyathi.

Akar Sejarah: Berdirinya Jantung Keilmuan Tremas

Jejak Syiar Islam di Pacitan Peran Kiai Hamid Dimyathi Tremas dan Ulama Pendahulu

Jauh sebelum menjadi salah satu pesantren tertua dan paling berpengaruh, Tremas adalah sebuah visi. Sejarah Pondok Tremas dimulai pada abad ke-19, dirintis oleh seorang ulama besar yang dikenal sebagai Kiai Abdul Manan.

Peran Sang Perintis, Kiai Abdul Manan

Kiai Abdul Manan bukanlah sekadar pendiri; beliau adalah peletak fondasi. Sebagai putra seorang demang, beliau memiliki pilihan untuk hidup dalam kenyamanan. Namun, beliau memilih jalan dakwah. Setelah menimba ilmu di berbagai pesantren besar di Jawa, beliau kembali ke tanah kelahirannya untuk mendirikan pusat pendidikan.

Perjuangan ulama pendahulu ini sangat berat. Beliau membuka lahan, membangun surau sederhana, dan mulai mengajar di tengah masyarakat yang saat itu masih kental dengan tradisi non-Islam. Kegigihan beliaulah yang mengubah desa terpencil menjadi mercusuar ilmu.

Membangun Fondasi Sanad Keilmuan

Yang membuat Tremas istimewa sejak awal adalah fokusnya pada sanad keilmuan (mata rantai keilmuan) yang jelas. Para pendirinya adalah ulama-ulama yang memiliki koneksi langsung dengan pusat-pusat ilmu di Haramain (Mekah dan Madinah). Ini menjadikan Tremas bukan sekadar pesantren lokal, tapi bagian dari jaringan intelektual Islam global. Inilah fondasi yang nantinya akan dibesarkan oleh para penerusnya.

Masa Keemasan: Warisan Kiai Hamid Dimyathi

Jika Kiai Abdul Manan adalah sang peletak fondasi, maka Kiai Hamid Dimyathi adalah arsitek yang membawa Pondok Tremas ke puncak kejayaannya. Beliau adalah cucu dari sang pendiri, seorang ulama karismatik yang dikenal alim dalam berbagai bidang ilmu, terutama Hadis.

Pembaharu dan Ahli Hadis

Di bawah kepemimpinan Kiai Hamid Dimyathi, Tremas mengalami modernisasi tanpa kehilangan identitas salaf-nya. Beliau memperkenalkan sistem pengajaran yang lebih terstruktur dan memperluas kurikulum. Namun, warisan terbesarnya adalah reputasinya sebagai ahli hadis.

Para santri dari seluruh penjuru Jawa, bahkan luar Jawa, datang berbondong-bondong untuk tabarrukan (mencari berkah) dan belajar langsung dari beliau. Peran ulama Pacitan saat itu tidak lagi hanya bersifat regional, tetapi telah menjadi rujukan nasional.

Dampak Syiar: Melampaui Batas Pacitan

Warisan Kiai Hamid Dimyathi tidak terbatas di dalam dinding pesantren. Beliau berhasil mendidik ribuan santri yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. Banyak dari mereka menjadi ulama besar, pendiri pesantren baru, atau tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing.

Inilah jejak syiar Islam di Pacitan yang sesungguhnya. Syiar yang tidak berhenti di Pacitan, tetapi menyebar dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Tremas, melalui tangan dingin Kiai Hamid, telah menjadi "rahim" yang melahirkan para pejuang ilmu di berbagai pelosok.

Jejak yang Hidup: Warisan Tremas Hari Ini

Hingga hari ini, Pondok Tremas tetap menjadi salah satu pusat pendidikan Islam di Pacitan yang paling dihormati. Warisan para ulama pendahulu masih sangat terasa.

Lebih dari Sekadar Ziarah

Bagi para musafir spiritual, mengunjungi Tremas menawarkan pengalaman yang berlapis. Tentu, banyak yang datang untuk berziarah ke makam para pendirinya, sebuah destinasi yang kami bahas di 7+ Makam Wali dan Tokoh Bersejarah di Pacitan. Pusara Kiai Abdul Manan dan Kiai Hamid Dimyathi di kompleks pesantren tak pernah sepi peziarah.

Namun, pengalaman di Tremas lebih dari itu. Ini adalah tentang merasakan atmosfer keilmuan yang hidup, melihat para santri mengkaji kitab, dan mendengarkan lantunan ayat suci dari 5 Masjid Bersejarah di Pacitan yang berada di jantung kompleks, yakni Masjid Pondok Tremas.

Mengunjungi Tremas: Adab dan Pengalaman

Penting untuk diingat bahwa Pondok Tremas adalah lembaga pendidikan aktif. Ini bukan objek wisata biasa.

  • Adab: Pengunjung wajib berpakaian sopan. Bagi pria, sangat dianjurkan mengenakan baju koko dan sarung/celana panjang. Bagi wanita, wajib mengenakan hijab dan pakaian longgar yang menutup seluruh aurat.
  • Izin: Selalu minta izin kepada pengurus atau petugas keamanan saat memasuki area.
  • Perilaku: Jaga ketenangan, jangan memotret santri atau aktivitas belajar-mengajar secara sembarangan, dan hormati privasi pondok.

Vendor Outbound Batu Malang


Jantung Intelektual yang Terus Berdetak

Jejak syiar Islam di Pacitan paling jelas terlihat di Pondok Tremas. Ia adalah bukti bahwa kekuatan sebuah daerah tidak hanya terletak pada kekayaan alamnya, tetapi juga pada kedalaman intelektual dan spiritualitasnya.

Peran Kiai Hamid Dimyathi dan para ulama pendahulu telah berhasil mengubah Pacitan dari wilayah perbatasan menjadi salah satu pusat keilmuan Islam paling penting di Indonesia. Mengunjungi Tremas adalah mengunjungi jantungnya, sebuah warisan hidup yang terus berdetak dan menyebarkan cahaya ilmu.


Sumber gambar : canva

Penulis : Muhammad Rafi Sabilillah (mrs)

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *